Wednesday, 27 February 2019

BATIK KENGARUH BELANDA


Kehadiran orang Eropa di pantai Nusantara sudah dimulai sejak tahun 1500. Mula-mula orang Portugis, Spanyol, lalu Belanda mulai 1601 dan orang-orang Eropa lain. Keturunan orang Eropa dengan pribumi dan bangsa lain di Nusantara disebut Indo-Eropa. Paling banyak umlahnya tentu saja Indo-Belanda. Tadinya orang Eropa mempertahankan gaya pakaian rnereka, tetapi pada abad XVII-XVIII pakaiannya disesuaikan dengan iklim tropis. Bahan yang dipakai lebih tipis. Yang paling populer di kalangan Wanita Eropa dan Indo-Eropa adalah bahan katun yang diberi motif dengan teknik cap dari India, yaitu chintz. Sejak pertengahan abad XVIII mereka mulai beralih ke kain batik dan kebaya untuk pakaian sehari-hari di rumah. Kebayanya putih Ionggar, diber tepian renda.
Kaum prianya di rumah mengenakan celana batik longgar yang nyaman. Orang Inggris di bawah Letnan Gubernur jenderal Raffles yang sempat menggantikan Belanda untuk waktu yang singkat (1811-1816), merasa terperangah melihat orang-orang Eropa dan Indo-Eropa mengenakan “pakaian pribumi” yang mereka anggap tidak layak bagi orang Eropa dan keturunannya. Hanya kalau bepergian, bekerja atau pada acara-acara khusus mereka mengenakan pakaian bergaya Eropa. Pada masa Inggris berkuasa dan kemudian juga Belanda, mereka mulai mengimpor kain putih halus buatan pabrik Eropa. Iadi, ketika kemudian permintaan akan batik meningkat, bahannya tersedia. Tadinya mereka memakai kain tenunan tangan. Wanita Indo-Eropa, seperti halnya wanita Cina peranakan, awalnya memesan atau membeli batik buatan golongan lain. Lalu banyak yang mempekerjakan beberapa perempuan perajin batik di halaman belakang rumah mereka, tapi hasilnya bukan untuk dijual. Didorong oleh kebutuhan untuk mencari nafkah, sejumlah wanita Indo-Eropa di pantai utara Jawa, memanfaatkan peluang untuk melayani permintaan akan batik di kalangan mereka.
Mulai sekitar tahun 1830-an mereka membuka pembatikan yang hasilnya untuk dijual. Pada dasarnya, batik bermutu tinggi dihasilkan oleh bahan yang baik, keterampiian dan ketekunan perajin serta pengawasan yang terus-menerus, sehingga batik yang dihasilkan di tempat majikan lebih baik jadinya daripada yang dikerjakan di rumah perajin sendiri. Ragam hias setempat dan ragam hias Cina mulai ditambahi ragarn hias pilihan wanita Indo-Eropa sendiri. Mereka mendapat ilham dari garnbar pada kartu pos, rnajalah-majalah bergambar, buku-buku dsb. yang datang dari Eropa. Warna pun disesuaikan dengan selera mereka. Umurnnya tidak sesemarak warna batik Cina peranakan. Belanda totok bahkan menyukai warna dan motif yang lebih tidak mencolok lagi.
Mereka kemudian rnemperkenalkan warna-warna pastel yang lembut. Perkembangan batik belanda bisa kita lihat pada batik-batik dalam koleksi ini. Pelanggan mereka bukan cuma kalangan sendiri tetapi menerima pesanan dari pelanggan Cina peranakan dan sebaliknya. Mereka juga menerima pesanan dari kalangan atas pribumi. Karena itulah, setelah kaum Indo-Eropa tidak ada lagi yang mengenakan batik dan kebaya sejak 1930

No comments:
Write komentar

Kode iklan yang sudah di parse