SEJARAH BATIK JAWA
Batik adalah .kain yang ragam hiasnya dibuat dengan mempergunakan malam sebagai bahan perintang warna, sehingga zat warna tidak dapat mengenai bagian kain yang tertutup malam saat pencelupan. Untuk membubuhkan malam ke atas kain, dipergunakan canting, yaitu sebuah alat kecil berupa semacam mangkuk berujung pipa dari tembaga, yang diberi galgang kayu atau bambu. Akibat peningkatan permintaan akan batik, pada pertengahan abad XIX, mulai dikembangkan batik yang pembubuhan malamnya dilakukan dengan lempengan logam bermotif.
Alat itu biasa disebut “cap” dan hasilnya disebut “batik cap”, sedangkan batik yang digambar dengan canting lantas disebut “batik tulis”. Batik cap tidak sehalus batik tulis, tetapi pembuatannya jauh lebih cépat. Tahun 1970-an muncul tekstil bermotif batik yang populer disebut “batik printing”. Batik printing dihasilkan tanpa mempergunakan teknik membatik, artinya tidak memakai perintang warna. Motif batik dibubuhkan pada kain dengan mesin cetak yang kini sudah dikomputerisasi. Tekstil ini dapat dihasilkan dalam waktu singkat dan dalam jumlah banyak. Akibatnya harganya jauh lebih murahi dari pada batik cap, apalagi batik tulis. Yang akan kita bicarakan di sini hanyalah batik tulis. Metode merintang warna dalam pembuatan ragam hias pada kain sebetulnya sudah lebih dari seribu tahun dikenal di pélbagai bagian dunia. Zat perintang warnanya beragam dan pembubuhannya bukan dengan canting.
Seiain di Mesir, Cina, India dan beberapa kawasan Asia yang lain, termasuk Timur Tengah, metode merintang warna ditemukan juga di beberapa tempat di Afrika Barat. Tidak diketahui dengan pasti di mana metode itu pertama lahir. Apakah lahir di suatu tenipat lalu diperkenalkan ke tempat-tempat lain? Ataukah lahir di beberapa tempat yang tidak saling berhubungan? Yang jelas, di PulauJawa-lah metode pembatikan berkembang paling subur dan menghasilkan kain-kain batik dengan ragain hias paling kaya, teknik pewarnaan paling berkembang dan mutu pengerjaan paling halus dan paling cermat, walaupun metode perintang warna ditemukan pula di beberapa pulau lain di Nusantara dengan zat perintang warna dan alat yang berbeda-beda. Tidak diketahui dengan pasti kapan batik mulai dibuat di Jawa. Namun batik tulis yang dibuat dengan canting dan malam, menurut Robyn Maxwell dalam Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation, mungkin baru berkembang pada awal abad XVII. Sebelum canting ditemukan, pembubuhan perintang warna dilakukan dengan alat lain, seperti umpamanya tangkai bambu.
Pada awal abad XX, G.P. Rouffaer merupakan ilmuwan pertama Belanda yang meneliti batik. Penelitiannya hanya difokuskan pada batik keraton yang didominasi warna cokelat dari tanaman soga tingi, soga tengerang di samping warna indigo, hitam dan putih. Ragam hias batik Solo-Yogya banyak menunjukkan pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa. Penampilan batik yang dibuat di pesisir utara Jawa berbeda daripada yang dibuat di Solo-Yogya. Batik dari pesisir utara P. Iawa berlatar putih dengan motif berwarna.
Masa itu Warna biru atau nila diperoleh dari tanaman indigo/tarum/tom, sedangkan warna merah dari akar tanaman mengkudu. Saat itu batik merupakan pakaian laki-laki rnaupun perempuan. Mulai tahun 1980-an, antropolog Rens Heringa meneliti batik dari pesisir utara Iawa, begitu pula Harmen C. Veldhuisen, seorang sosiolog dan kolektor batik. Keduanya berasal dari Belanda. Mereka tidak sependapat dengan Rouffaer yang menyatakan batik pesisir yang berwarna-warni mestinya berkernbang kemudian. Dalam Five Centuries of Indonesian Textiles, Rens Heringa mengemukakan bahwa penelitian lebih baru mengungkapkan: “.. perkembangan gaya batik berwarna cerah dari pesisir utara Jawa, secara historis tidak dapat dipertanggungjawabkan bila dikaitkan dengan kematian perdagangan cita dari Gujarat dan Pantai Koromandel pada akhir abad XVIII atau awal abad XIX.” Batik pesisir diperkirakan sudah mulai berkembang sejak abad XV Kita tahu kalau awal abad XV kota~kota di pantai utara P. Jawa sudah di bawah kekuasaan kerajaan~kerajaan Islam dan menjadi pusat perdagangan yang berhubungan dengan Malaka di Sernenanjung Melayu, Samudera Pasai di Sumatra, Ternate, Tidore, kota-kota pantai di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan pedagang mancanegara. Kaum santri sampai saat ini rnasih banyak yang menjadi saudagar yang andal di pelbagai bidang. Peter Carey, iimuwan Inggris yang rneneliiti sejarah Jawa, dalam Enchanted Fabric menyatakan pesisir utara menjadi tempat Iahir kebudayaan yang unik. Kebudayaan ini memiliki masa gernilangnya antara kejatuhan Majapahit di awal abad XVI sampai Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir.
Pesisir Jawa menjadi tempat pertemuan pedagang, pelawat maupun agamawan dari India, Cina dan pelbagai penjuru Asia Timur. Di sinilah pendatang Cina, Arab dan Gujarat dari India Barat memperkenalkan agama Islam. Di sini pula para penjeiajah Barat pertama pada abad XV dan XVI mendarat. Daerah pantai terletak jauh dari keraton. Penduduknya Iebih terpapar dan Iebih mudah menyerap pengaruh luar, sehingga pesisir utara Jawa menjadi “belanga peleburan”. Pengaruh itu bisa datang dari daerah lain di Nusantara, bisa juga dari para pendatang India, Cina, Arab, Persia, Turki, Siam, Portugis, dan Belanda yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat.
Subscribe to:
Posts (Atom)